“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan
budak bagi bangsa-bangsa lain.”
― Pramoedya Ananta Toer,
― Pramoedya Ananta Toer,
Sepekan ini media-media cetak, radio, televisi maupun online di ramaikan
dengan pemberitaan tentang pembahasan DPR mengenai rancangan UU Pilkada yang
akan dipilih oleh DPRD. Hal ini membuat gamang masyarakat, ada yang pro dan
kontra, saya pun merasa ‘gatal’ dan membuat panas kepala bila melihat fenomena
ini.
Saya bisa bilang ini sebagai kekisruhan dan ancaman nyata bagi seluruh
masyarakat Indonesia, karena ini bisa mencederai nilai perjuangan para pahlawan
reformasi dan merampas hak-hak kedaulatan sebagai warga Negara yang berperan serta
menyuarakan kehendak dan menghentikan kebebasan “memilih” pemimpin bagi masyarakat
Indonesia. Pun jika nantinya disahkan kita tidak akan lagi merasakan nikmatnya "mencoblos" dan "memasukan" jari kita sebagai tanda bukti sah telah memilih wakil kita sesuai selera.
.
Selain itu dampak lain sesuai yang di utarakan oleh dosen
Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
Dr.
Agus Riewanto, SH, MA dalam artikelnya di jelaskan bahwa realitasnya alih-alih
memperbaiki kualitas pilkada, malah memundurkan karena mengubah mekanisme dari
langsung menjadi tidak langsung melalui pintu DPRD. RUU Pilkada ini bukan saja
akan mengudeta kedaulatan rakyat, tapi juga berpotensi merusak bangunan sistem
otonomi daerah (otda) dan sistem presidensial. Esensi politik otda melalui UU
No 22/1999, UU No 32/2004 dan UU No 12/2008 tentang Pemerintah Daerah, mengubah
pemerintah dari sentralisasi ke desentralisasi.
Dr. Agus Riewanto, SH, MA
juga menerangkan jika Sistem pilkada melalui pintu DPRD ini
akan menumbuhkan oligarki politik seperti menciptakan model hanya segelintir
elite politik daerah. Mereka juga akan membuat rakyat tak lagi memiliki akses
langsung terhadap isu, program, dan kebijakan daerah. Di titik ini akan terjadi
pembajakan demokrasi elite lokal. Pada akhirnya, hanya segelintir orang yang
berani mengajukan diri menjadi kepala daerah. Akibatnya, kelak publik tak akan
lagi dapat menjumpai pemimpin daerah yang progresif, inovatif, sederhana, dan
merakyat.
Zaman era millennium ini masyarakat tidak bisa
di bodohi dengan iming-iming slogan “mengatasnamakan rakyat “, dan masyarakat
bisa menilai mana muka-muka para biang kerok negeri ini yang menduduki kursi di
DPR serta Partai-Partai yang mementingkan kehendaknya untuk kesejahteraan
kehidupan partai dan kebutuhan “isi dompetnya”. Yang paling terlihat jelas dan
aneh, sebelum Pemilihan
Presiden 2014, tidak
ada Partai Politik yang
ingin jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Banyak orang yang berkaki telanjang, tetapi
mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang berpangkat tinggi memakai
sarung, tapi mereka bekerja sepenuh hati untuk penjajah. Jadi yang menandakan
seseorang itu revolusioner adalah perjuangan yang dilakukannya. Kita adalah sepasukan tentara saudara-saudara.” .
Namun,
kini berbanding terbalik
semua Partai Politik yang
tergabung dalam Koalisi Merah
Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, ditambah Partai Demokrat, malah
mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD ( sepertinya mereka red- (Koalisi Merah Putih) mulai
lelah ). Dan ini jelas menggambarkan sebagai sentimen dan manuver politik ketidakpuasan dengan
keadaan
pasca hasil Pemilihan Presiden lalu, yang ujungnya ingin mengebiri periode
presiden terpilih sekarang dengan menguasai pemerintahan di daerah.
"Aku ingin melihat kehidupan. Aku milik rakyat. Aku harus melihat mereka, aku harus mendengarkan mereka, dan bersentuhan dengan mereka. Aku merasa bahagia kalau berada di tengah mereka. Bagiku mereka adalah roti kehidupan. Aku membutuhkan massa rakyat.”
Perlu di tegaskan kembali bahwa kekuatan rakyat itu
lebih berbahaya dari pada kekuatan koalisi-koalisi abal-abal yang saat ini
meresahkan dan membuat ke kisruhan di negeri ini. Jadi masyarakat harus dengan
tegas dan satu suara untuk menolak RUU Pilkada ini di sahkan.
0 komentar:
Posting Komentar