Catatan Hati Seorang Ayah


Baru saja saya di telepon oleh istri, “ Pi aden ogo nih , pengen ke papi terus !! “ kata istri saya.

Sontak hati saya bergetar lagi sedih rasanya, saat pekerjaan mengalahkan keluarga kalah lah saya, sehingga memisahkan urat nadi kasih sayang orang tua dan anak, ini kali keduanya anak saya merengek ingin di temani oleh ayahnya saat tidur.

Saya bekerja hampir empat tahun di kota hujan sebagai seorang perawat, mempunyai keluarga kecil dengan seorang istri yang  bekerja sebagai tenaga pendidik dan satu orang anak laki laki yang baru berusia hampir 3 tahun bulan Februari nanti. 

Setiap minggunya saya pulang ke Sukabumi untuk bertemu istri dan anak saya, saya paham sekali konsekuensi yang saya terima dengan keadaan seperti ini, hal ini mungkin banyak di rasakan oleh banyak para ayah yang hanya bertemu keluarganya satu kali dalam seminggu mungkin ada yang sebulan sekali. Tetapi sejujur jujurnya dalam hati setiap para ayah dan saya sendir sangat tidak menyukai dalam posisi seperti ini, tentu saja sedih, galau, risau, kecewa, menolak keadaan dan menyiksa batin serta pikiran.

Istri pun selalu bertanya kepada saya, “ Pih kenapa sih ngga pindah aja ke Sukabumi, di sini juga banyak kan Rumah Sakit ?”. katanya,

Sebetulnya pemikiran saya pun seperti itu, kelak 1-2 tahun lagi dalam hati saya pasti balik lagi kesana, untuk saat ini saya masih bertahan di pekerjaan sekarang dengan beberapa alasan. Tetapi bila hal ini terus terjadi berulang kali, entahlah apakah saya masih akan tegar ???

Tentulah saya bodoh bila mengabaikan keluarga demi pekerjan, toh tentunya pekerjaan bisa di gantikan oleh yang lain tetapi keluarga tidak dapat tergantikan. Saya yakin inilah dinamika kehidupan, mungkin saya dulu pada saat masih kecil sering merengek seperti ini kepada orang tua, dan Tuhan memberikan pelajarannya kepada saya ketika saya sudah berada di posisi sebagai seorang ayah. Dan yang paling saya takutkan saat ini adalah kurangnya kasih sayang dari seorang Ayah kepada anak akan berdampak buruk terhadap perkembangannya.

Saya hanya seorang ayah yang selalu berfikir terlalu jauh dengan masa depan istri dan anak saya, ciri khas ketakutan seorang manusia yang  memikirkan dunia, sehingga lalai terhadap akhirat. Padahal Allah lebih tahu masa depan itu seperti apa. Ya rabb ampuni saya.

Hanya doa dan ikhtiar yang selalu saya panjatkan saat ini, semoga pada saatnya nanti  saya dapat berkumpul dengan istri dan anak  seraya bergegas membangun surga di dunia dan mempersiapkan surga di akhirat.


Janganlah menganggap hati seorang ayah itu bagaikan baja, tidak peka dan mempunyai rasa, jika bisa memilih takdir maka sang ayah akan memilih takdir yang baik dengan hidup bergelimang kegembiraan bersama keluarga. (Rizky Pribadi)

Demi menyambung hidup, sang ayah rela mematikan perasaanya, mengubur dalam-dalam rasa rindunya terhadapa istri dan anaknya. (Rizky Pribadi)

Seorang ayah rela menyederhanakan hidupnya di perantauan, agar kelak pada saat tiba pulang ia dapat melihat istri dan anaknya tersenyum merekah dengan hasil tangkapannya yang melimpah. (Rizky Pribadi)




Bogor, 25 November 2016


0 komentar:

Posting Komentar

 

Support

Support

Support

Support

Support

Support