SYOK kardiogenik merupakan salah satu komplikasi
infark miokard akut (IMA) dengan angka kematian tinggi bahkan pada era terapi
revaskularisasi yang agresif sekarang ini. Intra aortic balloon
pump (IABP) yang diperkenalkan lebih dari lima dekade yang lalu,
telah lama diterima oleh kardiolog sebagai terapi awal untuk memperbaiki aliran
koroner dan perfusi organ-organ vital. Namun analisa dari studi Intra
Aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock II trial (IABP-SHOCK
II) yang dibahas pada pertemuan tahunan European Society
of Cardiology Congress 2012 yang lalu, mempertanyakan
efektivitas IABP untuk kelompok pasien ini.
Kesimpulan studi ini juga dimuat secara simultan dalam New
England Journal of Medicine edisi Agustus2012. Pada laporan penelitian mereka, Thiele dkk
mengumpulkan data pasien IMA dengan syok kardiogenik di 37 rumah sakit di
Jerman. Dari 790 pasien yang direkrut, sejumlah 600 pasien berhasil diikuti dan
dianalisa dalam suatu penelitian prospektif yang terandomisasi. Sebanyak 301
pasien menjalani pemasangan IABP (grup IABP) dan 299 pasien tanpa IABP (grup
kontrol). Semua pasien mendapatkan terapi medikamentosa yang optimal serta
direncanakan untuk menjalani revaskularisasi dini dengan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) ataupun tindakan bedah pintas koroner.
Hasil akhir yang diteliti adalah angka kematian oleh
semua sebab dalam 30 hari (30-day all-cause mortality). Dipantau pula
profil kemanan penggunaan IABP yakni ada tidaknya perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer, sepsis dan stroke.
Di akhir penelitian, sejumlah 300 pasien di grup IABP
dan 298 di grup kontrol dimasukkan ke dalam analisa akhir. Setelah 30 hari
tampak bahwa 119 pasien di grup IABP (39,7%) dan 123 pasien di grup kontrol
(41,3%) meninggal dunia (risiko relatif dengan IABP sebesar 0,96 dengan range
0,79-1,17 pada interval kepercayaan 95%, p=0,69). Tidak dijumpai pula
perbedaan bermakna pada end-pointsekunder, yakni
stabilisasi hemodinamik, lama rawat di ruang intensif, kadar laktat
serum, dosis dan durasi penggunaan obat-obatan katekolamin dan fungsi ginjal.
Dalam hal profil keamanan juga tidak dijumpai
perbedaan bermakna dalam angka perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer,
sepsis maupun stroke. Sehingga kelompok peneliti dari IABP-SHOCK II trial ini
menyimpulkan bahwa penggunaan IABP tidak memperbaiki angka mortalitas 30 hari
pada pasien IMA dengan syok kardiogenik yang direncanakan untuk menjalani
terapi revaskularisasi dini.
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam
interpretasi studi ini adalah bahwa ada beberapa keterbatasan dalam
pelaksanaannya. Pertama, studi ini
tidak tersamar, karena tidak mungkin dilakukan blinding dalam
hal penerimaan intervensi IABP. Kedua,
data hemodinamik dan marker inflamasi yang dianalisa terbatas yakni tekanan
darah, denyut nadi, dan c-reactive protein.
Kelemahan berikutnya yang dinyatakan sendiri oleh
kelompok peneliti, bahwa mortalitas keseluruhan pada subjek mereka yakni
sekitar 40%, adalah lebih rendah dari penelitian sebelumnya, yang mungkin
berarti bahwa populasi penelitian mungkin merepresentasikan kelompok syok
kardiogenik dengan profil risiko sedang dan kurang dapat digeneralisir untuk
kelompok pasien dengan profil risiko yang lebih tinggi. Kelompok peneliti
menyatakan telah merencanakan untuk melanjutkan penelitian ini untuk
mendapatkan data mortalitas jangka panjang 6 dan 12 bulan.
Sebagai kesimpulan dari IABP-SHOCK II trial ini adalah bahwa penggunaan IABP pada pasien IMA disertai syok kardiogenik yang direncanakan untuk terapi reperfusi dini tidak memberikan perbaikan dalam hal angka kematian jangka pendek. Hasil ini tentunya mempertanyakan rekomendasiguidelines IMA oleh berbagai asosiasi internasional saat ini yang memposisikan IABP sebagai rekomendasi kelas I pada IMA dengan komplikasi syok kardiogenik. Dasar dari rekomendasi ini adalah hasil dari studi-studi observasional sementara data dari uji klinis dan meta analisis belum banyak.
Sebagai kesimpulan dari IABP-SHOCK II trial ini adalah bahwa penggunaan IABP pada pasien IMA disertai syok kardiogenik yang direncanakan untuk terapi reperfusi dini tidak memberikan perbaikan dalam hal angka kematian jangka pendek. Hasil ini tentunya mempertanyakan rekomendasiguidelines IMA oleh berbagai asosiasi internasional saat ini yang memposisikan IABP sebagai rekomendasi kelas I pada IMA dengan komplikasi syok kardiogenik. Dasar dari rekomendasi ini adalah hasil dari studi-studi observasional sementara data dari uji klinis dan meta analisis belum banyak.
Studi
IABP-SHOCK II yang diharapkan akan memberikan pembenaran untuk penggunaan IABP
ternyata menampilkan hasil yang tidak disangka-sangka. Padastudi ini
disimpulkan bahwa walaupun penggunaan IABP terbukti aman namun tidak tampak
perbaikan dalam hal mortalitas maupun perbaikan hemodinamik pada pasien IMA
dengan komplikasi syok kardiogenik.
Apakah hasil penelitian IABP-SHOCK II ini akan merubah praktik klinik kita sehari-hari? Para peneliti studi ini telah mengemukakan beberapa kelemahan dalam studi mereka seperti yang telah disebut sebelumnya. Pihak lain yang skeptis juga mempertanyakan mengapa 86% IABP dipasang setelah tindakan PCI yang mungkin menyebabkan efeknya tidak optimal. Terlebih lagi terdapat 10% pasien kelompok kontrol yang akhirnya berpindah ke grup IABP.
Apakah hasil penelitian IABP-SHOCK II ini akan merubah praktik klinik kita sehari-hari? Para peneliti studi ini telah mengemukakan beberapa kelemahan dalam studi mereka seperti yang telah disebut sebelumnya. Pihak lain yang skeptis juga mempertanyakan mengapa 86% IABP dipasang setelah tindakan PCI yang mungkin menyebabkan efeknya tidak optimal. Terlebih lagi terdapat 10% pasien kelompok kontrol yang akhirnya berpindah ke grup IABP.
Namun demikian, berdasarkan hasil studi ini, ESC telah
merubah tingkat rekomendasinya untuk penggunaan IABP pada pasien IMA dengan
syok kardiogenik dari kelas 1C menjadi kelas 2B. Mengenai penggunaan IABP untuk
indikasi lainnya, misalnya pada pasien IMA dengan komplikasi mekanik dan
sebagai support pada PCI risiko tinggi masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut, apalagi dengan hadirnya beberapa jenis lain alatpercutaneous
circulatory assist device (PCAD), seperti Impella atau TandemHeart.
Referensi:
1. Thiele H, Zeymer U,
Neumann FJ, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with
cardiogenic shock. N Engl J Med 2012; DOI 10.1056/NEJMoa1208410. Diakses dari http://www.nejm.org
2. O’Connor CM, Rogers
JG. Evidence for overturning the guidelines in cardiogenic shock. N Engl J Med
2012; DOI:10.1056?NEJMoa1209601. Diakses dari http://www.nejm.org
http://tpkindonesia.blogspot.com/2012/09/penggunaan-iabp-untuk-pasien-ima-dengan.html
0 komentar:
Posting Komentar